Bank Dunia awal Mei lalu merilis nilai Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar dunia berdasarkan daya beli / Purchasing Power Parity (PPP) tahun. Menariknya, posisi Indonesia berada di urutan kesepuluh. Posisi pertama dan kedua masih ditempati AS dan Tiongkok disusul India, Jepang dan Jerman. Urutan berikutnya adlh Rusia, Brazil, Prancis dan Inggris. Naiknya peringkat Indonesia ini, yg sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2011, direspon dgn penuh sukacita oleh Pemerintah Indonesia dan disebut sebagai salah satu bukti keberhasilan Pemerintah dlm mendorong kemajuan ekonomi.
Sebenarnya tak ada yg istimewa dgn posisi tersebut. Dengan populasi penduduk terbesar ke-4 dunia, ditunjang dgn sumberdaya alam yg melimpah, posisi Indonesia sebenarnya masih sangat rendah jika dibandingkan dgn Jepang dan Jerman yg jumlah negara-negara yg jumlah penduduknya lebih sedikit dan kekayaan alamnya amat minim. Oleh karena itu, jika diukur dgn GDP perkapita, yakni nilai GDP dibagi dgn jumlah penduduk, maka posisi Indonesia menurut Bank Dunia berada pd peringkat 100, di bawah Sri Lanka dan Namibia.
PDB dan Ketimpangan
Apakah besarnya PDB suatu negara mencerminkan tingkat kesejahteraan rakyatnya? Tentu tidak. Meskipun menjadi salah satu indikator yg paling banyak digunakan untk memotret seberapa besar perekonomian suatu negara, PDB bukanlah ukuran yg tepat untk menilai kemajuan dan kesejahteraan ekonomi suatu negara. Sebagaimana yg diingatkan oleh penggagas indikator tersebut,
Simon Kuznets (1934) dan diamini oleh banyak ekonom dan lembaga, PDB hanya menghitung nilai barang dan jasa yg dihasilkan oleh suatu negara dlm satu periode dan bukan mengukur tingkat kesejahteraannya. Pasalnya, indikator tersebut tak ‘peduli’ siapa yg menghasilkan nilai tersebut, apakah segelintir pengusaha raksasa / jutaan rakyat jelata. Indikator itu jg tak menjelaskan bagaimana distribusi dari hasil kekayaan tersebut di antara penduduk. Ia jg tak mempersoalkan bagaimana cara dan dampak dari proses produksi kekayaan tersebut apakah dgn menjarah hutan dan mencemari lingkungan / berbagai perdagangan minuman keras / transaksi finansial yg spekulatif.
Menyadari kelemahan tersebut, para peneliti dan lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan OECD terus mengembangkan alat ukur yg lebih akurat dlm menilai kondisi ekonomi dan tingkat kesehjahteraan penduduk suatu negara. Salah satu indikator alternatif dari PDB adlh Human Development Index (HDI). Selain memasukkan GDP perkapita, indikator ni jg mencakup tingkat pendidikan (diukur dgn rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf) dan kondisi kesehatan (diukur dgn lamanya usia rata-rata penduduk) suatu negara. Meskipun masih sangat terbatas, indikator ni dipandang lebih baik dibandingkan dgn GDP. Dengan indikator ini, posisi Indonesia berada pd urutan ke-121. Dengan demikian, tingkat kesejahteraan di Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan dgn negara-negara lain. Jika demikian, apa yg dpt dibanggakan dgn peringkat 10 besar tersebut?
Ternyata semakin besarnya GDP Indonesia—dengan pertumbuhan yg dinilai cukup tinggi dlm beberapa tahun terakhir dibandingkan dgn negara-negara lain—justru membuat kesenjangan pendapatan antara penduduk semakin tinggi. Salah satu indikator yg biasa dipakai untk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk suatu negara adlh gini ratio. Pada tahun 1999 gini ratio Indonesia sebesar 0,31 dan melonjak menjadi 0,41 pd 2012.
Artinya, ketimpangan pendapatan di Indonesia semakin parah. Demikian pula porsi pengeluaran penduduk miskin terus merosot. Jika pd tahun 2002, porsi pengeluaran 40 persen penduduk terendah sebesar 22,8%, dan 20% penduduk teratas sebesar 39%. Namun, pd tahun 2013, porsi pengeluaran penduduk miskin tersebut turun menjadi 17% dan pengeluaran orang teratas naik menjadi 49%.
Potret yg lebih nyata melihat buruknya kesejahteraan penduduk negara ni adlh jumlah penduduk miskin yg sangat besar. Jika menggunakan standar BPS, jumlah penduduk miskin pd 2011, dgn garis kemiskinan Rp 233,740, mencapai 30 juta orang (12 persen). Namun, jika garis tersebut ditambah dgn penduduk yg rentan miskin yakni 1,6 kali garis kemiskinan (Rp 374,000) maka jumlahnya melonjak menjadi 102 juta (43 persen).
Di sisi lain, jumlah orang kaya bertambah, baik dari sisi jumlah maupun nilai kekayaan mereka. Dari Oktober 2009 sampai Oktober 2013 jumlah simpanan orang kaya di perbankan naik 90% menjadi 3.574 triliun rupiah dan jumlah rekening naik 56% menjadi 134 juta rekening.
Namun, dilihat dari komposisi nilai simpanan maka tak sampai 0,1% dari dana tersebut dimiliki oleh 170 ribu rekening dgn saldo di atas Rp 2 miliar, termasuk 106 ribu yg punya simpanan lebih dari Rp 5 miliar. Bayangkan saja, pemilik rekeningnya kurang dari 0,1% tetapi orang kaya menguasai 54% total simpanan perbankan. Ini merupakan sebuah struktur piramida yg sangat runcing dan mencerminkan ketimpangan. (Lihat Beni Sindhunata: “Bola Salju Ketimpangan Ekonomi”).
Paradoks antara nilai kekayaan yg terus membesar yg menumpuk di lapisan atas masyarakat dan buruknya kualitas kesejahteraan masyarakat dlm jumlah yg fantastik merupakan bukti kelemahan sistem ekonomi kapitalisme sebagaimana yg diterapkan di negara ini. Joseph Stiglitz dlm bukunya The Price of Inequality (2012) telah menyinggung bahwa di antara penyebab ketimpangan ekonomi di negara Kapitalisme seperti AS (1% penduduknya menguasai 20% kekayaan nasional) adlh semakin terkonsentrasinya modal dan pendapatan di kalangan menengah atas. Semua ni akibat ekonomi pasar yg diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik yg deregulatif, yg pd akhirnya justru menimbulkan malapetaka berupa krisis. Ketimpangan di Indonesia sebenarnya secara kasar dpt dilacak dgn mudah. Lihat saja, kondisi petani Indonesia yg merupakan pekerjaan 40 juta penduduk negara ni / 35 persen dari total tenaga kerja. Meski secara nominal upah buruh terus meningkat, nilai upah riil mereka semakin merosot akibat tergerus oleh biaya hidup yg terus melambung. Penguasaan lahan petani gurem semakin lama semakin besar. Akibatnya, produktivitas dan efisensi produksi mereka semakin merosot. Pada saat yg sama, Pemerintah secara masif melakukan liberalisasi di sektor perdagangan. Ini membuat para petani semakin termarginalkan. Mereka akhirnya meninggalkan sektor tersebut dan beralih ke sektor-sektor informal seperti perdagangan dan jasa jika tak ingin menganggur. Di sisi lain, para pemilik modal besar, oleh Pemerintah terus dimanjakan atas nama investasi, untk menguasai lahan-lahan produktif termasuk hutan untk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya.
Nasib petani tak jauh berbeda dgn nasib para buruh. Meski industri terus tumbuh, tingkat kesejahteraan buruh secara umum tak banyak mengalami perbaikan. Memang upah mereka hampir tiap tahun mengalami kenaikan. Tapi demikian, kenaikan tersebut lebih banyak untk mengkompensasi kenaikan inflasi. Buktinya, meski nilai upah nominal terus tumbuh, tapi nilai upah riil buruh, dlm satu dekade relatif stagnan. Jika pd Desember 2009 masih 30 ribu perhari, pd akhir 2013 turun menjadi 28.000. Jika pendapatan mereka hanya untk memenuhi kebutuhan dasarnya, di tengah komersialisasi berbagai fasilitas pelayanan publik, maka tentu sangat sulit bagi mereka untk meningkatkan kualitas hidup diri dan keluarganya baik dlm bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Adapun pilihan untk menjadi pengusaha bukan hal mudah. Akses kredit perbankan, selain riba, jg sangat sulit diakses oleh pengusaha kecil karena sulitnya agunan, Kalaupun mereka dpt menerima kredit tanpa agunan, bunganya amat fantastis. Rata-rata kredit mikro perbankan mencapai 20 persen / hampir dua kali lipat dari kredit non mikro yg rata-rata 11 persen. Sebaliknya, dgn tingkat suku bunga deposito dan imbal hasil investasi yg tinggi, para pemilik modal dgn mudah melipatgandakan kekayaan mereka tanpa harus banyak mengusap peluh. Selain itu, mereka pun lebih mudah mendapatkan kredit perbankan karena mereka memiliki aset yg dpt dijaminkan.
Politik Ekonomi Islam dan Kesejahteraan
Berbagai aib sistem kapitalisme ni semakin hari terus tersingkap dan semakin disadari oleh manusia di dunia ini. Tidak heran jika gelombang penolakan terhadap sistem ekonomi terus membesar dari waktu ke waktu. Hal ni tentu saja merupakan konsekuensi alamiah ketika manusia yg serba lemah dan penuh kekurangan diatur oleh sistem yg mereka buat sendiri. Oleh karena itu, selain meninggalkan sistem buatan manusia tersebut, sudah sepatutnya negara ni dan dunia ditata sesuai dgn aturan yg telah diwahyukan Allah SWT.
Di dlm Islam, politik ekonomi negara adlh menjamin setiap warga negara mendapatkan kebutuhan dasar mereka yaitu pangan, sandang dan perumahan serta jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Negara jg memberikan kesempatan kepada warga negaranya untk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Karena itulah indikator kesejahteraan ekonomi sebuah negara dlm pandangan Islam adlh terpenuhinya kebutuhan pokok individu sebagaimana sabda Rosulullah saw.:
Ù…َÙ†ْ Ø£َصْبَØَ آمِÙ†ًا ÙÙŠ سَرْبِÙ‡ِ، Ù…ُعَاÙِÙŠً ÙِÙŠْ بَدَÙ†ِÙ‡ِ عِÙ†ْدَÙ‡ُ Ù‚ُÙˆْتُ ÙŠَÙˆْÙ…ِÙ‡ِ ÙَÙƒَاَÙ†َّÙ…َا ØِÙŠْزَتْ Ù„َÙ‡ الدُّÙ†ْÙŠَا بِØَذَاÙِÙŠْرِÙ‡َا
Siapa saja yg ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memilliki bahan makanan untk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.
Untuk mewujudkan itu, negara berperan sangat dominan dan tak menyerahkannya kepada mekanisme pasar sebagaimana yg terjadi dlm sistem kapitalis. Rasulullah saw. bersabda:
ÙَØ£َÙŠُّÙ…َا Ù…ُؤْÙ…ِÙ†ٍ Ù…َاتَ ÙˆَتَرَÙƒَ Ù…َالاً ÙَÙ„ْÙŠَرِØ«ْÙ‡ُ عَصَبَتُÙ‡ Ù…َÙ†ْ ÙƒَانُÙˆْا، ÙˆَÙ…َÙ†ْ تَرَÙƒَ دَÙŠْناً Ø£َÙˆْضَÙŠَاعًا ÙَÙ„ْÙŠَØ£ْتِÙ†ِÙŠ ÙَØ£َÙ†َا Ù…َÙˆْلاَÙ‡ُ
Siapapun orang Mukmin yg mati, sedangkan dia meninggalkan harta, maka wariskanlah hartanya itu kepada keluarganya yg ada. Siapa saja yg mati, sedangkan dia menyisakan hutang / dhayâ’an (orang-orang yg lemah), maka serahkanlah kepada aku. Selanjutnya aku yg akan menanggungnya (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Dari penjaminan kebutuhan dasar tersebut, dpt dipastikan bahwa biaya hidup relatif lebih ringan dibandingkan dgn di negara-negara kapitalisme yg menyerahkan pemenuhan kebutuhan dasarnya pd mekanisme pasar. Di sisi lain, biaya hidup jg tak dibebani dgn berbagai pajak dan cukai yg menjadi sumber pemasukan utama dlm sistem kapitalisme.
Dari sisi pendapatan, peran negara jg sangat besar dlm mendorong produktivitas masyarakatnya untk bekerja di sektor pertanian, industri dan jasa. Di sektor pertanian, aset berupa lahan-lahan pertanian diproduktifkan dgn cara dibagikan kepada yg membutuhkan. Sebaliknya, ada larangan untk menelantarkan tanah pertanian lebih dari tiga tahun. Subsidi input pertanian dpt diberikan negara secara gratis seperti pupuk, benih, peralatan pertanian lainnya, dukungan infrastruktur irigasi. Negara jg terlibat dlm membangun dan mengembangkan industri strategis seperti persenjataan serta industri-industri yg terkait dgn pengelolaan barang milik umum seperti pertambangan. Tidak ada pajak. Ada pinjaman yg bebas bunga, penyediaan infrastruktur publik secara gratis oleh negara serta birokrasi yg bersih dan efisien. Dengan semua itu tingkat kemudahan investasi menjadi sangat tinggi sehingga penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak.
Tenaga kerja pun tentu tak mendapatkan upah berdasarkan standar upah minimum, sebagaimana negara-negara kapitalis; / mengikuti harga barang yg diproduksi, sebagaimana yg dikemukakan oleh pemikir sosialis-komunis. Namun, upah ditentukan berdasarkan kesepakatan yg bersifat independen antara pemberi kerja dan pekerja.
Sekolah yg murah bahkan gratis hingga jenjang perguruan tinggi menjadikan angkatan kerja memiliki kompetensi yg tinggi sehingga menjadi lebih produktif. Kondisi ni tentu saja memberikan pilihan yg fleksibel dlm memilih lapangan pekerjaan.
Tapi demikian, kesejahteraan dlm pandangan Islam bukan hanya dinilai dgn ukuran material saja, tetapi jg dinilai dgn ukuran non-material seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral dan terwujudnya keharmonisan sosial. Karena itu, kesejahteraan tak hanya buah sistem ekonomi semata, melainkan jg buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem sosial [] hti press/ syabab indonesia
source : http://muslim-medianews.blogspot.com, http://okezone.com, http://hipwee.com
0 Response to "[Nasional] Ironi, Rakyat Miskin di Negara Kaya, Ayam mati di Lumbung Padi"
Posting Komentar