This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Imam Sudah di Mimbar, Apakah Tahiyatul-Masjid Masih Sunnah?

Imam Sudah di Mimbar, Apakah Tahiyatul-Masjid Masih Sunnah? termotok.blogspot.com - Perihal tahiyatul-Masjid, yg jg sering jadi pertanyaan ialah; jika seseorang masuk masjid dan Imam sudah di atas mimbar berkhutbah, apa masih ada kesunahan tahiyatul-Masjid baginya? Artinya apa yg harus dilakukan, duduk langsung karena memang wajib mendnegarkan khutbah? Atau memanfaatkan sedikit waktu untk meraup pahala sunnah tahiyatul-masjid?
[1] Tetap Sunnah Tahiyatul-Masjid, Tapi Dipercepat
Ini pendapat Imam al-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal, mengacu kepada hadits Sahabat Sulaik al-Ghathafani r.a. itu, yg mana beliau datang ke masjid pd hari jumat, dan Nabi s.a.w. sudah di atas mimbar. Melihat Sulaik yg langsung duduk, Nabi justru memerintahkannya untk berdiri lagi guna shalat 2 rakaat.
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُول اللَّهِ r يَخْطُبُ فَقَال : يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا Sulaik Al-Ghthafani radhiyallahuanhu masuk ke dlm masjid ketika Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Beliau SAW bersabda, "Berdirilah kamu wahai Sulaik, lakukan shalat dua rakaat dan tunaikanlah keduanya dgn ringan. (HR. Muslim)
Dengan ringan maksudnya, shalatnya itu dilakukan dgn tak terlalu lama, sekedar rukun shalatnya terpenuhi. Karena bagaimanapun Imam sudah di atas mimbar, kewajibannya adlh mendengarkannya, jadi tak perlu berlama-lama dlm shalat.
[Sudah Duduk, Tetap Sunnah 2 Rakaat Tahiyat]
Ini jg sekaligus menjadi dalil bagi madzhab ni perihal orang yg datang ke masjid, tapi langsung duduk. Walaupun sudah duduk, ia masih bisa shalat tahiyatul-Masjid dan tetap dpt kesunahannya juga, mengacu kepada pristiwa Sahabat Sulaik ini.
[2] Duduk dan Mendengarkan Khutbah
Ini pendapat yg dipegang oleh madzhab al-Malikiyah dan madzhab al-Hanafiyah. Lebih jauh lagi bahwa bagi mereka shalat 2 rakaat tahiyatul masjid ketika Imam sudah di mimbar hukumnya makruh, bukan Sunnah. Dengan demikian melakukannya tak berarti apa-apa, yg baik adlh duduk dan mendengarkan.
Mereka berargumen dgn ayat 204 surat al-A'raf yg memang turun ketika Nabi s.a.w. denagn khutbah sebagai perintah bagi umat muslim untk mendengarkan khutbah; (Tafsir Ibn Katsir 3/538)
فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا "Dengarkanlah dan perhatikanlah." (QS. Al-A'raf : 204)
Jadi memang ni perintah yg jelas untk diam dan mendenarkan khutbah ketika khotib sedang berarad di atas mimbar, karena memang apa ang dibacakan oleh Khotib tak lain adlh ayat-ayat Quran, termasuk jg dilarang sholat. Karena sholat termasuk praktek yg membuat seseorang tak bisa mendengarkan khutbah tersebut. Bagaimana bisa ia melakukan sebuah kesunahan dan menabrak sebuah kewajiban. Apakah kesunahan jauh lebih utama dari kewajiban?
[Hadits Sulaik al-Ghathafani = "Personal Case"]
Terkait hadits Sulaik Al-Ghothofani ini, 2 madzhab ni menilai bahwa peristiwa ni adlh peristiwa khusus yg memang hukumnya berlaku hanya personal Sulaik saja, tak semua umat. Ini yg dlm ilmu fiqh disebut dgn istilah "waqa'i al-A'yaan" [وقائع الأعيان], perkara khusu / "personal case".
Apa indikasinya kalau itu personal case?
Pertama: Khutbah jumat itu disyariatkan setelah hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah. Berarti khutbah jumat ada sejak nabi berada di Madinah sampai wafat beliau, itu sama saja Nabi telah berkhutbah di depan para sahabat untk sholat jumat lebih dari 500 kali.
Lalu yg 500 lainnya kemana? Kenapa hanya ada satu hadits dan itu pun hadits Ahaad, yg menceritakan untk itu? Apakah selama 500 lebih khutbah itu hanya Sulaik yg terlambat datang ke masjid? Kenapa tak ada perintah yg sama kepada sahabat yg lain untk itu?
Maka Imam Malik dan Imam Abu Hanifah melihatbahwa itu kejadian khusus yg hanya berlaku pd sulaik, dan tak pd yg lainnya. Hukum khutbah tetap seperti asalnya yaitu wajib bagi makmum untk diam dan mendengarkan.
Kedua: Nyatanya, banyak sahabat Nabi s.a.w. yg masuk masjid dan Nabi berada di dalamnya akan tetapi beliau tak memerintahkan mereka untk shalat tahiyatul-Masjid. Salah satunya adlh apa yg diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Waqid al-Laitsi r.a. tentang 3 orang yg menghadiri majlis Nabi s.a.w. di masjid.
Orang pertama masuk dan mengisi shaff depan yg kosong. Orang kedua masuk, tapi malu akhirnya hanya duduk di barisan belakang. Orang ketiga justru tak masuk, malah pergi meninggalkan Majlis. Kemudia Nabi s.a.w. berkata:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ "mau kah kalian aku beritahu tentang 3 orang; Orang pertama mendekat, maka Allah mendekatinya. Yang kedua malu, maka Allah pun malu kepadanya. Yang ketiga berpaling, Allah pun berpaling darinya." (Muttafaq 'Alayh)
Nabi hanya memberi kabar kepada para sahabat lain perihal 2 orang yg masuk tersebut, tapi Nabi s.a.w. tak memerintahkannya. Padahal ia masuk masjid.
Pendapat ni jg diperkuat dgn kaidah Ushul (dalam madzhab Imam Abu Hanifah) bahwa Zohir ayat Quran jauh lebih kuat dibanding hadits Ahaad.
Wallahu a'lam

other source : http://fb.com, http://google.com, http://zarkasih20.blogspot.com

0 Response to "Imam Sudah di Mimbar, Apakah Tahiyatul-Masjid Masih Sunnah?"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *